Saturday, September 27, 2008


Butet Kartaredjasa said ....

”Bagaimana mengukur kualitas cinta pacar kita?”
”Kalau dia sudah berani (ma’af) kentut di depan kita!”

Guyonan yang beberapa tahun lalu dilontarkan Ashadi Siregar, ahli
komunikasi sekaligus penulis novel Cintaku di Kampus Biru ini, rasanya
masih terngiang di kuping. Bagi saya, tesis jenaka itu bukan sekadar
canda. Jika direnungkan ada kedalaman makna.

Kentut yang dipahami sebagai tabu jika diledakkan di ranah publik, dan
selalu ditahan karena dianggap memalukan, kali ini dibiarkan hadir
tanpa sungkan. Saya mengartikan, ini adalah wujud kepasrahan,
keikhlasan, dan ketelanjangan diri.

Mungkin secara etis nilainya jeblok, tetapi secara kesehatan nilainya
8, dan menurut ”ilmu asmara” nilainya 10. Soalnya, justru ketika rasa
malu dan rasa sungkan sudah ditanggalkan, saat itulah sebenarnya
totalitas dan keutuhan cintalah yang dihadirkan. Sudah tak ada lagi
jarak. Semua sudah hadir polos tanpa menyembunyikan aib dirinya.

Oleh karena itulah, jika sekarang Anda tengah dilanda asmara dan ingin
menguji kualitas cinta pasangannya, bangkitkanlah nyali untuk
memperlihatkan yang kita sangka sebagai keburukan. Sajikanlah
tabu-tabu yang bersifat personal. Biarkan oplosan nitrogen, oksigen,
metan, karbondioksida, dan hidrogen yang bersarang di usus kita
menjerit nyaring: duuuttt!!! Yakinlah, kentut bisa dipersembahkan
sebagai tanda cinta.

Akan tetapi, sialnya, selalu saja orang jengah melaksanakan nasihat
ini. Jika direlasikan dengan kondisi mutakhir di mana banyak orang
ngebet jadi pemimpin, tampaklah mereka sibuk menyembunyikan ”kentut”
alias membungkus bau busuk dirinya. Baik mereka yang kebelet jadi
bupati, gubernur, atau sedang ancang-ancang pengin melompat nangkring
di kursi kepresidenan.

Coba lihatlah, mereka berlomba menjejalkan wajahnya ke mata khalayak
lewat billboard, baliho, dan poster. Iklan berwarna ukuran jumbo
menghias lembar-lembar koran. Sementara itu, reklame di televisi
menayangkan adegan-adegan penuh pesona nan humanistik yang, sialnya,
diperagakan dengan kualitas akting kelas ”play group”. Pencitraan
seseorang yang ge-er merasa dirinya jagoan memberesi persoalan bangsa.
Tak ada aroma kentut dalam pencitraan itu. Semua serba suci, bersih,
indah, dan optimistik.

lalu apa jabaran ”kentut” seorang capres? Berhubung sejak 1945 para
presiden nyaris mempunyai kebiasaan serupa, yaitu bikin kehidupan
khalayak tambah susah, saya ingin mendengar janji yang pasti bakalan
bisa ditepati. Sebuah kejujuran ”kentut” seperti, ”Percayalah,
seumpama saya jadi presiden, harga BBM pasti akan saya naikkan.
Kemiskinan akan saya selenggarakan dalam tempo sesingkat-singkatny a.
Korupsi akan ditingkatkan secara adil dan beradab. Dan yakinlah,
begitu dilantik jadi presiden, pasti saya akan segera berpikir untuk
mengembalikan modal beriklan saya.

adpated from : mas Butetkertaredjasa

2 comments:

Anonymous said...

Wee, lah, politik ini, serius ini.

Haris said...

Posting yang bagus...
Disaat ambisi kekuasaan menguasai seseorang, mereka cenderung berlaku spt itu. Padahal janji adalah hutang. Dan kepemimpinannya akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Andai kita selalu ingat itu... tak ada orang yang berani mencalonkan diri menjadi pemimpin... karena sadar akan apa yang dihadapinya kelak.