Dikantorku sedang ada perbaikan lantai, pemasangan ubin yang telah menyita waktu beberapa minggu ini, dan menyebabkan kami harus berpindah ruang kerja, tidak ada pengaruh yang begitu besar dengan keseharian, tapi suara palu yang menghantam semen, menghasil bunyi ketukan yang keras dan cukup mengganggu aktivitas bekerja, tapi hal tersebut tidak membuatku kehilangan semangat kerja, segala sesuatunya masih berjalan seperti biasanya, alasan mengapa kantor melakukan perbaikan lantai dikarenakan, terjadinya kerusakan ubin karena diduga diakibatkan karena suhu panas dibawah permukaan ubin yang mengakibatkan lantai menjadi retak, singkatnya perbaikan lantai ini memiliki dampak bagi aktivitas keseharian, suara bising, debu, dan juga kesusahan untuk bergerak kesana kemari, karena semen yang masih basah.
Bicara mengenai perbaikan, umumnya orang baru akan melakukan perbaikan apabila telah terjadi kerusakan, yah kalau masih bagus juga, ngapain mesti diperbaiki, ada juga yang melihat kadar kerusakan, kalau belum terlalu parah juga belum diperbaiki, menunggu ketika sudah total rusak. tapi memang kebanyakan orang baru akan mengambil tindakan setelah sesuatu itu sudah total rusak, jadi ketika masih dalam low level biasanya yang terjadi adalah membiarkan saja, padahal tindakan yang paling efektif adalah mencegah agar tidak sampai ke level terparah kerusakannya, karena apabila sudah sampai ke level yang parah biasanya perbaikan-nya akan sulit dan tidak mudah, harganya juga tidak murah, apapun itu.
Perbaikan lantai kantor tentulah menghasilkan cost, yang didapat dari quantity dan quality dari pekerjaan perbaikan tersebut, dan juga dikalikan dengan waktu pelaksanaan, faktor x&y dll, nah itu merupakan penjabaran untuk perbaikan lantai kantor.
Nah... untuk perbaikan lantai kantor saja memiliki prosedural tertentu seperti tersebut diatas, pertanyaannya adalah bagaimana untuk perbaikan mental? apakah harus menunggu ketika mental telah benar-benar cacat, rusak, sehingga harus diperbaiki, atau melihat dari kadar kerusakkannya?
jika masih dalam tingkatan belum terlalu parah maka diambil langkah membiarkan saja, tapi jika sudah memasuki tahap parah baru kemudian diambil tindakan perbaikan? walau sebenarnya memang yang paling baik adalah dengan melakukan pencegahan, jangan sampai memiliki mental yang rusak, sedikit atau banyaknya tindakan preventif-lah yang memang harus diambil.
Mengingat sekarang banyak sekali terjadi hal - hal yang menyebabkan hati miris dibuatnya, salah satu penyebabnya karena pengaruh kerusakan mental, mental yang sudah korosi dibiarkan saja terus menerus, sehingga berkarat dan dampaknya mengalir kemana-mana. beberapa media sudah memberikan contoh- contoh kerusakan mental yang terjadi dimana -mana, dari berbagai golongan profesi, ada pejabat, ulama, pengusaha, kalangan pengajar, mahasiswa, anak -anak. salah satu yang cukup sering tampil di-media beberapa saat ini adalah kisah seorang anak SD yang dinikahi oleh seorang pengusaha kaya raya dijawa atas restu orang tuanya juga sehingga dia memilih harus berhenti bersekolah, yang dijadikan topik utama beberapa media berita, yang makin marak karena kasusnya telah mencuat kemana-mana, saya no-comment lah tentang hal tersebut, juga saya tidak punya hak untuk memvonis mental siapa yang rusak disini, si Anak-kah? atau si pengusaha kah? atau Orang Tuanya -kah? tapi hal tersebut kembali mengingatkan saya tentang perbaikan lantai dikantorku, lantai ubin yang meretak rusak menganga yang perbaikannya juga membutuhkan cost yang tidak sedikit, dan waktu yang tidak singkat pula mengingat kerusakan ubinnya sudah parah, sehingga kantor harus mengganti seluruh ubin yang lama dengan ubin yang baru.
Bicara mengenai perbaikan, umumnya orang baru akan melakukan perbaikan apabila telah terjadi kerusakan, yah kalau masih bagus juga, ngapain mesti diperbaiki, ada juga yang melihat kadar kerusakan, kalau belum terlalu parah juga belum diperbaiki, menunggu ketika sudah total rusak. tapi memang kebanyakan orang baru akan mengambil tindakan setelah sesuatu itu sudah total rusak, jadi ketika masih dalam low level biasanya yang terjadi adalah membiarkan saja, padahal tindakan yang paling efektif adalah mencegah agar tidak sampai ke level terparah kerusakannya, karena apabila sudah sampai ke level yang parah biasanya perbaikan-nya akan sulit dan tidak mudah, harganya juga tidak murah, apapun itu.
Perbaikan lantai kantor tentulah menghasilkan cost, yang didapat dari quantity dan quality dari pekerjaan perbaikan tersebut, dan juga dikalikan dengan waktu pelaksanaan, faktor x&y dll, nah itu merupakan penjabaran untuk perbaikan lantai kantor.
Nah... untuk perbaikan lantai kantor saja memiliki prosedural tertentu seperti tersebut diatas, pertanyaannya adalah bagaimana untuk perbaikan mental? apakah harus menunggu ketika mental telah benar-benar cacat, rusak, sehingga harus diperbaiki, atau melihat dari kadar kerusakkannya?
jika masih dalam tingkatan belum terlalu parah maka diambil langkah membiarkan saja, tapi jika sudah memasuki tahap parah baru kemudian diambil tindakan perbaikan? walau sebenarnya memang yang paling baik adalah dengan melakukan pencegahan, jangan sampai memiliki mental yang rusak, sedikit atau banyaknya tindakan preventif-lah yang memang harus diambil.
Mengingat sekarang banyak sekali terjadi hal - hal yang menyebabkan hati miris dibuatnya, salah satu penyebabnya karena pengaruh kerusakan mental, mental yang sudah korosi dibiarkan saja terus menerus, sehingga berkarat dan dampaknya mengalir kemana-mana. beberapa media sudah memberikan contoh- contoh kerusakan mental yang terjadi dimana -mana, dari berbagai golongan profesi, ada pejabat, ulama, pengusaha, kalangan pengajar, mahasiswa, anak -anak. salah satu yang cukup sering tampil di-media beberapa saat ini adalah kisah seorang anak SD yang dinikahi oleh seorang pengusaha kaya raya dijawa atas restu orang tuanya juga sehingga dia memilih harus berhenti bersekolah, yang dijadikan topik utama beberapa media berita, yang makin marak karena kasusnya telah mencuat kemana-mana, saya no-comment lah tentang hal tersebut, juga saya tidak punya hak untuk memvonis mental siapa yang rusak disini, si Anak-kah? atau si pengusaha kah? atau Orang Tuanya -kah? tapi hal tersebut kembali mengingatkan saya tentang perbaikan lantai dikantorku, lantai ubin yang meretak rusak menganga yang perbaikannya juga membutuhkan cost yang tidak sedikit, dan waktu yang tidak singkat pula mengingat kerusakan ubinnya sudah parah, sehingga kantor harus mengganti seluruh ubin yang lama dengan ubin yang baru.
7 comments:
..cihuy...ini posting yg inspiring banget...mau nunggu rusak baru diperbaharui atau dipelihara supaya tidak rusak...itu memang dikotomi yg sering terjadi...tapi kalau urusannya 'mental', memang harus dipelihara/ dijaga jangan sampai rusak, dan itu tidak boleh ada kompromi...jaga keutuhan mental..titik..!!!...itu opiniku lho Art...!!
Kalau untuk urusan mental, bener-bener harus dijaga. Namun manga mental justru lebh sulit, karena seringkali justru kita tdak menyadari bahwa mental kita mulai menurun kualitasnya
Korosi ngertiku termasuk proses pelapukan yg gak iso mbalik lagi (irreversible), kalo mental udah korosi brarti mentalnya udah rusak/cacat. mau diperbaiki lagi ya susah, karena dasarnya emang udah cacat. Kalo masih "erosi" mental aja masih bisa lah diperbaiki....cuma ya itu tergantung lingkungannya juga, kalo gak kondusif ya. susyaaahhh....
Soal syeh Puji yg ngawinin anak kecil, waahhhh kebetulan lokasi rumahku gak begitu jauh dari dia Sejarahnya dia itu orang biasa aja, cuma ulet, jadi lurah di Kec Bedono and punya bisnis pabrik lukisan panel dari tembaga yg pasarannya di negara2 timur tengah nah waktu krisis moneter, terjdi boom dollar, dia jaya, karena produknya dijual dalam bentuk dollar, terus dia mulai trkenal jadi orang kaya di daerah situ....Hobinya ngoleksi mobil2 BMW yg build Up, setelah gak jadi lurah, awal th 2000-an dia membangun pondok pesantren yg sangat luas dan besar...dan tau2 nya kok dia berjulukan syeh Puji, padahal orang2 sini biasa manggil dia Mas/Pak Puji aja...Ya udahlah lepas dari tujuan mulia dia bikin pondok yang notabene lebih banyak santri2 perempuan yg msh kecil2/ ABG, saya kok mikir dia ada kelainan mental (korosi mental?) yaitu : Paedhofilia.....iihhhh syereeemmmm......
Setuju..
SETUJU.!!
Saya tidak mau dipisahkan dengan Syech Puji, saya cinta dan hidup berbahagia dengan Syech Puji.
infotainment, korantaintment, wartawantainment biarlah menyiarkan berita itu karena itu memang tugasnya. cuma yg jangan lupa, koran & media itu, selain infotainment &demokrasi, ada banyak masalah yang perlu dibahas & diperjuangkan. gimana agar tidak terjadi pajak berganda, ini memeperlancar ekonomi. gimana biar tidak ada main mata petugas pajak dgn pengusaha, apa pajak diturunin tapi diversifikasi sektor yg kena pajak,atau apalah, kan banyak orang pinter yg bisa mikir. ini mendorong ekonomi riil. gimana birokrat di pemda/kot/lur/des bukan jadi preman, masak ada tanah dijual minta persenan, bukan cerita lho ini. gimana supaya beras petani lokal diproteksi thd dampak pasar bebas. gimana supaya anak-anak sekolah gedung2nya nyaman buat belajar, SD inpres yg dulu apa masih bisa dihidup2kan? minimal polanya, gurunya terhargai, kalo dapur aman & perut kenyang, rasanya ide2 akan muncul bertubi-tubi, bukankah petualangan(ilmu pengetahuan) dimulai dari perut?. dan lain-lain.
saya yakin, kalau kita bisa MENDRAMATISASI (ya minimal seperti mengemas infotainment tadi) hal2 krusial yg perlu dipikirkan & disolusikan tadi, maka banyak orang akan tergerak memperbaiki keadaan. Minimal emosinya ibu2 & remaja putri dpt digeser ke hal lain. Ya'e.
SETUJU.... !!!
Post a Comment